Gadai Sawah Tradisional dan Ketentuannya dalam Hukum Positif Menurut Ulama NU Banyuwangi
DOI:
https://doi.org/10.59001/pjls.v1i2.34Keywords:
Gadai sawah, rahn , ulama NU, hutang piutang , hukum positif, BanyuwangiAbstract
The people of Benculuk Village, Banyuwangi, have a tradition of pawning rice fields with the condition that the rice fields are used by the pawn recipient (the creditor). Utilization of the collateral continues without a time limit. Even though the provisions regarding the use of mortgaged agricultural land have been regulated in positive law, the community ignores them. The article aims to find out how the positive law regarding pawning rice fields applies and find out what the NU ulema think about pawning practices in the Benculuk Village community. The study was carried out using a qualitative approach with data collection methods in the form of interviews and documentation. The study found that the provisions for pawning rice fields are regulated in Article 7 No. 56/PRP/Tahun 1960, which determines the maximum time limit for the use of pawned rice fields is seven years. The study also found that from the perspective of NU Ulema, the practice of pawning in the area is not following Islamic law. on the other hand, they also agree with the law regarding the limits on the use of mortgaged rice fields. This regulation is expected to reduce tyranny in existing pawning practices.
Masyarakat Desa Benculuk, Banyuwangi mempunyai tradisi menggdaikan sawah dengan ketentuan bahwa sawah itu dimanfaatkan dan diambil hasilnya oleh penerima gadai (kreditur). Pemanfaatan jaminan itu berlangsung tanpa batasan waktu, selama debitur belum mampu membayar pinjamanya maka lahan pertanoian akan terus dimanfaatkan kreditur. Walaupun ketentuan tentang pemanfaatan lahan pertanian yang digadaikan telah diatur dalam hukum positif namun, masyarakat tidak menghirauakanya. Artikel bertujuan untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum positif tentang gadai sawah yang berlaku dan juga untuk mengetahui bagaimana pendapat ulama NU tentang praktik gadai dalam masyarakat Desa Benculuk dan ketentuan hukum positif mengenai gadai lahan pertanian. Kajiaan dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data berupa wawancara dan dokumentasi. Kajian menemukan bahwa ketentuan gadai sawah diatur dalam Pasal 7 No 56/PRP/Tahun 1960, yang menentukan batas waktu maksimal pemanfaatan sawah yang digadai adalah selama tujuh tahun. Kajian juga menemukan bahwa dalam perspektif Ulama NU praktig gadai di daerah tersebut tidak sesuai dengan hukum Islam. di sisi lain mereka juga setuju dengan peraturan Undang-Undang mengenai batas pemanfaatan sawah yang digadaikan. Peraturan tersebut diharapkan dapat mengurangi kedzaliman didalam praktik gadai yang ada.
References
Al-’Asqalani, I. H. (1999). Fath al-Bari Sharh Sahih al-Bukhari (Vol. 5). Riyadh: Bayt al-Afkar al-Dawliyah.
Al-Zuhaili, W. (2007). Fiqih Islam Wa Adillatuhu 6. Damaskus: Darul Fikr.
DSN-MUI. (2002). Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia DSN-MUI Nomor :25/DSNMUI/III/2002 Tentang Rahn. Dewan Syariah Nasional MUI.
Efendi, J., & Ibrahim, J. (2018). Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris. Prenada Media.
Fatma, F. (2018). Pemanfaatan Barang Gadai. Iqra: Jurnal Ilmu Kependidikan dan Keislaman, 13(2), 29–34. https://doi.org/10.56338/iqra.v13i2.281
Halim, A. (2020). Perlindungan Hukum bagi Pemegang Hak Gadai Tanah Pertanian. FENOMENA, 18(1), 2097–2115.
Hidayat, E. (2016). Transaksi Ekonomi Syariah (1 ed.). Bandung: Rosdakarya.
Hindi, A., & Rahmah, S. (2019). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Gadai Sawah Tanpa Batas Waktu di Desa Barumbung Kecamatan Matakali. J-Alif : Jurnal Penelitian Hukum Ekonomi Syariah dan Budaya Islam, 4(2), 221–236. https://doi.org/10.35329/jalif.v4i2.1714
Huda, K. H. (2022). Wawancara dengan Ulama NU desa Benculuk Banyuwangi.
Kureshi, H., & Hayat, M. (2015). Contracts and Deals in Islamic Finance: A Users Guide to Cash Flows, Balance Sheets, and Capital Structures (1st edition). Singapore: Wiley.
Moleong, L. J. (2016). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Presiden RI. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. , Pub. L. No. 56 (1960).
Putu, M. I. G. (2022). Gadai Tanah Pertanian (Sawah) Menurut Hukum Adat Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Vyavahara Duta, 17(1), 65–77. https://doi.org/10.25078/vyavaharaduta.v17i1.967
Romzi, Moh. (2012). Ulama Dalam Prespektif Nahdlatul Ulama. Religió: Jurnal Studi Agama-agama, 2(1).
Saleem, M. Y. (2012). Islamic Commercial Law. Singapore: John Wiley & Sons.
Santoso, U. (2005). Hukum agraria & hak-hak atas tanah. Kencana.
Sholihah, H. (2019). Pemanfaatan Barang Gadai Ditinjau dari Hukum Islam Dan Hukum Perdata Indonesia. Al-Afkar, Journal For Islamic Studies, 105–124. https://doi.org/10.31943/afkar_journal.v4i1.62
Soimin, S. (2018). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.
Suhendi, H. (2011). Fiqh muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suwoyo. (2022). Wawancara Dengan Pelaku Gadai Sawah di Benculuk.
Syahrullah, M. (2019). Formalisasi Akad Rahn dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. JURNAL ISLAMIKA, 2(2), 144–153. https://doi.org/10.37859/jsi.v2i2.1645
Ulum, M., & Wahid, A. (2019). Fikih Organisasi (Reaktualisasi Sejarah Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia). Al-Insyiroh: Jurnal Studi Keislaman, 5(2), 54–75. https://doi.org/10.35309/alinsyiroh.v5i2.3517
Downloads
Published
Issue
Section
License
Copyright (c) 2022 Salsabila Mutiara Rimba, Noer Yasin

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.